Selasa, 30 September 2014

DENDAM

Kita harus siap menerima kenyataan bahwa sebagai manusia, orang lain bisa berbuat baik ataupun buruk terhadap kita. Dalam keadaan seperti ini, kita tidak perlu khawatir karena Allah Swt memberikan formula kemuliaan. Yaitu firman-Nya,
“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik. Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushilat [41]: 34).
Dendam itu buah dari hati yang merasa terluka atau merasa haknya dilanggar. Makin kuat dendam seseorang, akan semakin besar kemungkinan ia untuk marah, dengki, dan tidak suka melihat orang lain mendapatkan nikmat. Malah, ada perasaan senang manakala orang lain sengsara atau celaka. Makin besar dendam, maka seseorang akan sedaya upaya mencari cara untuk mencemarkan bahkan mencelakakan orang lain yang membuatnya kecewa. Na’udzubillahi mindzalik. 

 
Nabi Muhammad Saw bersih dari dendam. Betapapun beliau dihina, dicaci, bahkan diintimidasi secara fisik, beliau justru memaafkan semuanya. Sifat pemaaf beliau sangat tinggi dan agung. Tidak sedikit orang yang menyakiti beliau, namun beliau sikapi dengan keluhuran akhlak hingga akhirnya orang-orang itu mendapatkan hidayah.
Dendam selain akan menghancurkan kebahagiaan kita, juga akan menghancurkan pikiran dan akhlak kita. Dendam juga bisa menghancurkan dunia dan akhirat kita. Maka, balaslah keburukan orang lain itu dengan kebaikan. Kita tidak bisa memaksa orang lain untuk bersikap baik kepada kita. Tapi, kita bisa memaksa diri kita untuk bersikap baik pada orang lain. Bagaimana tekniknya? Allah Swt berfirman,
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim.” (QS. Al Hujurât [49]: 10-11).
Kunci pertama adalah latihan. Tetangga adalah saudara seiman. Keponakan adalah saudara seiman. Makin tebal rasa persaudaraan kita, akan semakin ringan hidup ini.
Sayangnya, sedikit saja kita tersinggung, dengan mudahnya kita bermusuhan. Akhirnya, tidak sedikit yang menjadi musuh kita. Anak menjadi musuh, mertua pun jadi musuh, tak ketinggalan tetangga, teman sekantor, hingga rekan bisnis. Jika demikian yang terjadi, maka kapankah kita akan merasa bahagia, karena hampir di setiap tempat kita memiliki musuh.
Daripada kita dongkol karena bermusuhan, lebih baik kita berdamai dan menjalin persaudaraan sehingga kebahagiaan bisa digapai. Banyak keuntungan dari jalinan persaudaraan. Persaudaraan ini bukan hanya berdasarkan nasab atau secara biologis saja. Melainkan persaudaraan yang melintasi batas-batas bangsa dan negara. Sehingga dengan begitu, di kala kita dirundung kemalangan, masih banyak saudara kita yang akan membantu kita. Demikian juga sebaliknya, ketika saudara kita membutuhkan pertolongan, janganlah ragu untuk membantunya.
Kunci kedua, jangan biarkan pikiran kita sibuk mempermasalahkan masalah. Gunakanlah pikiran kita untuk menyelesaikan masalah. Saat anak kita menangis, tidak perlu kita memukul atau memarahinya karena itu tidak akan membuat tangisannya berhenti, malah justru akan semakin keras. Jika kita memiliki dendam, jangan terus menggeluti perasaan itu, namun datangilah dan selesaikanlah dengan baik permasalahan yang telah terjadi.
Kunci Ketiga, adanya semangat demi kemaslahatan bersama. Jangan sampai kita mendapat kemenangan sendiri sedangkan orang lain menelan kekalahan. Jika kita mendapat kemenangan atau keuntungan, sepatutnya kita berbagi dengan orang lain. Tidak pantas kita bersenang-senang sendiri di atas penderitaan orang lain. Makin banyak orang yang merasa tersakiti, maka akan semakin besar juga kemungkinan orang lain menyakiti kita.
Bila kita pernah tersakiti, kemungkinan besar kita akan merasa dendam. Tapi, kita bisa belajar untuk menghilangkan sifat seperti demikian. Seperti halnya seorang karateka yang belajar menghancurkan batu bata yang keras. Pertama kali memukulnya, batu bata tersebut tidak akan langsung hancur. Tapi dia tidak patah semangat, diulanginya lagi usahanya secara terus-menerus. Akhirnya pada pukulan kesekian dan pada hari yang kesekian pula, batu bata itu berhasil ia hancurkan. Tangannya akan mengalami lecet-lecet atau bengkak, namun itu adalah langkah awal dari keterampilannya menghancurkan batu bata dengan tangan kosong.
Begitu pula hati kita. Jika hati dibiarkan sensitif dan mudah sekali terjangkit penyakit, maka hati kita akan mudah terluka. Tapi, kalau hati kita dilatih, maka hati kita akan semakin mantap dan selalu siap menghadapi segala kemungkinan rasa kecewa.
Jika kita disakiti seseorang, maka janganlah lihat orang itu sebagai pihak yang menyakiti kita. Tapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal dari Allah Swt. Kalau kita melihatnya sebagai pihak yang menyakiti kita, maka tentu saja kita akan sakit hati dan dendam.
Sungguh kita tidak akan rugi diperlakukan apa saja oleh orang lain kalau kita bisa menyikapi perlakukan itu dengan benar. Penyikapan yang benar itu adalah sebagai berikut:
Pertama, evaluasi diri. Siapa tahu tanpa kita sadari, kita sudah mengundang kebencian orang lain. Kedua, perbaiki diri. Jawaban kita atas segala perlakuan yang kita dapatkan adalah akhlak yang baik. Kita dicemooh, dihina, dan diolok-olok oleh orang lain, maka biarkan saja. Tetaplah berbuat kebaikan. Pada akhirnya, orang akan melihat siapa yang difitnah dan siapa yang memfitnah.
Kalau kita menjadi lebih baik, Allah Swt akan memuliakan kita. Kalau Allah memuliakan kita, maka kita tidak akan menjadi hina karena hinaan orang lain. Balas keburukan orang lain dengan sikap terbaik. Ada orang pelit di sekitar kita, maka alangkah baiknya jika kita mengiriminya makanan atau buah-buahan. Jika ada orang berbicara jelek, maka kita bicara tentang segala sesuatu yang baik dan dengan cara yang baik serta benar.

1 komentar:

  1. Artikelnya sangat bermanfaat, cara penyampaiannya pun ringan mudah dicerna oleh saya yg awam tentang agama, terima kasih aa'.

    BalasHapus